JAKARTA | RMN Indonesia
Kondisi geografis, disparitas jaringan di Indonesia dan perlunya kolaborasi lintas lembaga dan akademisi menjadi kunci penting dalam membangun sistem pemilu dengan system e-Counting.
Hal itu disampaikan langsung Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU Provinsi Daerah Khusus Jakarta Dody Wijaya.
“Sistem e-Counting harus didukung oleh teknologi, kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), Infrastruktur dan simulasi teknis secara berulang-ulang” kata Dody pada saat menjadi narasumber dalam kegiatan Forum Group Discussion (FGD) di kantor KPU Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Jakarta Pusat pada Rabu, (12/11).
Dalam FGD yang mengusung tema “Adopsi Teknologi Pemungutan dan Penghitungan Suara : Peluang dan Tantangan Menuju e-Counting di Indonesia” ini, Anggota KPU RI Betty Epsilon Idross menyampaikan terkait sistem rekapitulasi elektronik (Sirekap) dalam penyelenggaraan Pilkada yang sudah berhasil berfungsi sebagai alat bantu penghitungan dan rekapitulasi suara.
“Transformasi digital menuntut penyelenggara Pemilu untuk lebih adaptif dan inovatif, Selain itu Pemanfaatan teknologi informasi yang disertai dengan peningkatan kompetensi SDM kedepan akan menjadi kunci mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan akuntabel” kata Betty.
Ketua KPU Provinsi Daerah Khusus Jakarta Wahyu Dinata menyampaikan penerapan e-Counting menjadi topik penting untuk dikaji lebih dalam, mengingat sejumlah negara telah mencoba teknologi tersebut namun kembali ke sistem manual. Diperjukan pandangan dari berbagai pihak untuk menilai kesiapan dan tantangan penerapan e-counting di Indonesia agar proses demokrasi semakin transparan dan efisien.
“Saya mengapresiasi kegiatan ini sebagai langkah penting di era demokrasi digital. Penggunaan teknologi dapat meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pemilu, namun tantangan seperti kepercayaan publik dan keamanan sistem harus diantisipasi melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi dan penyelenggara pemilu” kata Sekretaris Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia Teuku Harza Mauludi melalui daring.
Sebagai narasumber, Michael Yard dari International Foundation for Elecoral System menjelaskan bahwa penerapan e-voting memerlukan tiga elemen dasar: kerangka hukum yang jelas, infrastruktur memadai d kepercayaan publik. Michael mencontohkan Brasil yang cepat namun kurang transparan, serta Filipina yang menerapkan sistem hybrid lebih transparan dan dapat diaudit. Menurutnya, transparansi lebih penting daripada kecepatan dan teknologi tidak dapat menggantikan kepercayaan publik.
Narasumber yang lain, Ikhsan Darmawan Assistant Protessor Politik Universitas Indonesia menyoroti bahwa tantangan utama dalam adopsi teknologi pemilu di negara demokratis adalah kepercayaan publik dan legitimasi politik. Ikhsan menilai Indonesia perlu memiliki roadmap jelas yang mencakup tahapan decision in principle, testing phase dan adoption phase untuk penerapan e voting yang matang.
Kegiatan ditutup dengan simulasi dan tata cara penggunaan e-Counting kepada para peserta FGD.(jr)
